Kamis, Januari 17, 2008

Menuju Sosiologi Profetik

By Husnul Muttaqin
(Dimuat dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi perdana, Prodi Sosiologi Fak. Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta)

Bagi August Comte, sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu ini berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Sebenarnya Comte tidak sedang mengarahkan sosiologi untuk menjadi positivistik, ia hanya menyuarakan kecenderungan zaman. Di masanya, positivisme menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Ilmu alam menjadi model bagi orientasi ilmu tentang masyarakat yang sebelum Comte disebut sebagai “fisika sosial”, atau ilmu pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu peristiwa alam.[1]

Positivisme sebenarnya hanyalah bagian saja dari sejarah narasi besar pertarungan dua pahlawan peradaban; logos dan mitos. Dalam pemikiran Barat modern, pertarungan itu menjelma menjadi pertarungan antara pendekatan ala Ilmu-ilmu alam versus pendekatan lain yang tidak memiliki basis empiris. Perkembangan segi-segi material dan empiris kebudayaan modern telah menempatkan pendekatan ala ilmu-ilmu alam (sains) pada kedudukannya sebagai logos, sang protagonis, sedang cara-cara pendekatan lain dengan spekulasi metafisis-teologis tanpa basis empiris menjadi antagonisnya, mitos.[2]

Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai.[3]

Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Suatu ilmu sosial yang value free tidak pernah ada. Bahkan David J. Gray menyatakan dengan sangat lugas, bahwa ilmu sosial yang bebas nilai adalah “doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban” (a doctrine of hypocrisy and irresponsibility).[4] Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.

Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan.[5] Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.

Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral.[6]

Dengan semangat yang sama, Kuntowijoyo lalu melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110.

Yang amat menarik, kontroversial, sekaligus menjanjikan dari gagasan ini adalah bahwa Ilmu Sosial Profetik mencoba menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan integral. Agama yang dalam khazanah ilmu sosial kontemporer dianggap berada diluar wilayah ilmu pengetahuan, hendak dibawa kembali masuk sebagai bagian sah dari ilmu sosial.

ISP DAN PROBLEM INTEGRASI ILMU DAN AGAMA

Ilmu sosial, selama ini telah terlanjur dikembangkan dengan satu asumsi yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial, bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada di satu wilayah, agama di wilayah yang lain lagi. Asumsi inilah yang hingga saat ini masih dengan begitu fanatik dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang berhaluan positivis. Walaupun tentu saja di sana-sini terdengar gugatan-gugatan terhadapnya, yang tidak saja berasal dari para ilmuwan sosial muslim tapi juga dari para ilmuwan sosial Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan ilmu sosial.

Tentu saja, perkembangan peradaban modernlah yang kemudian memunculkan situasi perkembangan ilmu sosial semacam ini. Akibat kemunculan peradaban modern yang diawali dengan konflik hebat antara ilmu pengetahuan dan Gereja, ilmu sosial yang terlahir dari perhelatan ini kemudian menolak agama sebagai bagian dari ilmu. Itu sebabnya, modernisme juga bisa kita artikan defferentiation (pemisahan).[7] Paradigma defferentiation inilah yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu sosial sampai hari ini.

Tampaknya, paradigma ini sudah cukup berurat akar dalam ilmu sosial. Itu sebabnya, ide untuk membawa kembali agama dalam wilayah ilmu sosial akan menghadapi tudingan yang tidak ringan. Ide ini akan dicurigai hendak menjadikan ilmu kembali terpenjara dalam kekuasaan dogma-dogma agama seperti yang pernah terjadi di masa lalu (Abad Pertengahan).

Kekhawatiran seperti ini tentu saja sangat beralasan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian penganut ide integrasi agama dengan ilmu sosial cenderung berpikir secara normatif. Cara berpikir seperti ini jelas tidak konstruktif, bahkan akan mematikan perkembangan ilmu sosial itu sendiri. Ilmu sosial akan muncul dengan wajahnya yang absolut.

Kita dapat mengambil contoh ide islamisasi ilmu sosial. Ide ini sejak awal membedakan secara tegas antara ilmu sosial sekuler dan ilmu sosial Islam, seolah-olah ada ilmu sosial yang ahli surga dan ilmu sosial lain yang penuh dosa. Kita tidak memungkiri bahwa ilmu sosial memang berideologi atau kita boleh menyebutnya “beragama”. Teori Marxis misalnya, “agamanya” adalah materialisme. Tapi dengan melakukan pembedaan antara ilmu sosial Islam dengan ilmu sosial non-Islam atau sekuler akan berakibat pada klaim kebenaran yang berlebihan dan menyebabkan sikap eksklusif yang tidak berguna. Padahal kebenaran ilmu itu harus bersifat terbuka.

Di pihak lain, penolakan sebagian besar ilmuwan sosial terhadap ide untuk memasukkan agama sebagai bagian integral dalam ilmu sosial sesungguhnya diam-diam bersifat normatif juga. Mereka ini yakin benar bahwa satu-satunya kebenaran yang sah dalam ilmu sosial adalah kebenaran empiris, kebenaran yang berasal dari fakta-fakta yang dapat terindera. Sikap seperti ini sama artinya dengan sikap normatif eksklusif, menolak kemungkinan kebenaran lain.

Karena itu menjadi penting bagi kita untuk meredakan ketegangan di antara dua pihak yang saling berhadap-hadapan ini. Di satu sisi kita ingin tetap membawa agama sebagai bagian integral dari ilmu sosial, mengingat pentingnya hal ini bagi masa depan kemanusiaan. Di sisi lain kita tidak ingin membawa-bawa pendekatan normatif yang selama ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan realitas.

Kita tidak sepakat dengan positivisme karena keinginannya mengabsolutkan kebenaran empirisnya dan sifatnya yang kuantitatif. Kita juga tidak sepakat dengan ilmu sosial interpretatif dalam semangatnya yang bebas nilai, memahami realitas lalu membiarkannya apa adanya, tidak berpihak, walaupun kita setuju dengan sifat interpretatifnya. Kita ingin ilmu sosial yang memiliki keberpihakan dengan tujuan kemanusiaan sebagaimana teori kritis, sehingga ilmu sosial tidak hanya mengabdi pada kepentingan status quo sosial di balik klaim bebas nilainya. Tapi kita ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu sosial kritis tidak pernah berbicara tentang nilai-nilai agama sebagai bagian penting dari kerja-kerja ilmiah theory building. Seolah-olah agama tidak dapat memberikan kontribusi apapun dalam mengkonstruk bangunan teoritis ilmu sosial yang bercorak emansipatoris.

Lantas paradigma apakah yang dapat memenuhi harapan kita?. Pertanyaan ini sulit dijawab, karena tradisi intelektual kita jarang sekali menyinggung masalah ini. Untunglah di Indonesia ini kita punya Kuntowijoyo, seorang sejarahwan yang secara serius memikirkan hal ini, walaupun gagasannya di seputar masalah ini masih sangat terbatas untuk dapat dikatakan mencukupi. Hanya saja, Kuntowijoyo telah melontarkan ide besarnya yang tampaknya cukup menjanjikan. Ini sebuah awal yang bagus. Apa yang saya maksudkan adalah ide Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik. Saya mengamati, idenya ini kini mulai banyak dilirik orang. Ini tampak dari semakin banyaknya karya-karya yang lahir membahas ide ini dalam berbagai aspeknya.

Ide ini memilki kemiripan dengan teori kritis, hanya saja Kuntowijoyo memilki tawaran plus, ia juga mengusung transendensi sebagai bagian penting dari pilar ilmu sosial di samping humanisasi dan liberasi. Persis di sisi inilah Kuntowijoyo menawarkan sesuatu yang lain. Melalui transendensi, Kuntowijoyo hendak menjawab problem hubungan agama dan ilmu sosial.

Kuntowijoyo memaknai transendensi dalam arti keimanan kepada Allah yang diderivasikan dari QS. Ali Imran 110. Melalui ayat ini pulalah Kunto meletakkan tiga pilar bagi Ilmu Sosial Profetik yaitu humanisasi (ta’muruna bil-ma’ruf), liberasi (tanhauna anil munkar) dan transendensi (tu’minuna billah). [8] ketiga pilar inilah yang kemudian akan dipakai sebagai landasan untuk mengembangkan ISP, serta akan menjadi ciri paradigmatisnya. Penekanan Kunto, bahwa transendensi harus menjadi dasar dari dua unsurnya yang lain menunjukkan perhatian Kunto terhadap signifikansi agama dalam proses theory building dalam ilmu sosial. Melalui transendensi, ISP hendak menjadikan nilai-nilai agama sebagai bagian penting dalam proses membangun peradaban.

Satu pertanyaan penting yang kemudian harus dijawab Kuntowijoyo adalah bagaimana atau dengan cara apa agama dapat diintegrasikan dalam ilmu sosial?. Kalangan penganut ide islamisasi ilmu sosial akan cenderung memaknainya secara ideologis normatif. Itu sebabnya penganut ide ini akan menjawabnya dengan melakukan pembedaan terhadap metodologi sekular dan metodologi Islam, atau sekularisasi versus islamisasi. Kunto tidak tertarik dengan pemilahan semacam ini. Ia menolak methodological secularism atau methodological atheism sebagai metodologi yang hendak memisahkan agama dari wilayah ilmu, tapi ia juga tidak tertarik dengan metodologi islamisasi. Kunto menggugat “bagaimana nasib ilmu yang belum diislamkan?. Bagaimana nasib Islam tanpa ilmu?”.[9] ISP tidak mau terjebak dan terombang-ambing dalam pertikaian antara islamisasi dan sekularisasi. Kunto kemudian menawarkan jalan tengah yaitu obyektifikasi atau methodological objestivism.[10] Apa yang ia sebut sebagai obyektifikasi itu tak lain adalah penterjemahan nilai-nilai subyektif agama dalam kategori-kategori obyektif yang bisa dipahami semua orang tanpa perlu memahami nilai-nilai asal (agama) dan dapat disetujui siapapun tanpa harus menyetujui nilai asal. Obyektifikasi merupakan metode untuk menghadirkan agama secara lebih substantif ilmiah bukan normatif ideologis. Dalam obyektifikasi, nilai-nilai obyektif dari semua agama, ideologi, kepercayaan atau aliran filsafat dapat saling berkomunikasi, lepas dari egosentrisme ideologisnya.[11]

BEBERAPA GAGASAN POKOK ILMU SOSIAL PROFETIK.

1. Pilar Ilmu Sosial Profetik

Unsur pertama adalah humanisasi. Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.[12] Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.

Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.

Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.[13] Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).[14]

Unsur kedua adalah liberasi. Liberasi adalah pemaknaan kreatif dari nahi munkar. Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan).[15] Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.

Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.[16]

Transendensi adalah unsur ketiga ISP. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuna bi Allah (beriman kepada Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.

Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

2. Ketegangan Dialektis Antara Structure Dan Superstructure

Surat Ali Imran (3): 110 selain menjadi landasan Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur Ilmu Sosial Profetik juga menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses sejarah. Nilai-nilai ilahiah (amar ma’ruf, nahi munkar) menjadi tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika materialistis. Pandangan kaum marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran.[17] Dengan ini Ilmu Sosial Profetik berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran. Ilmu Sosial Profetik membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.

Heru Nugroho menyebut pandangan ini dengan istilah Hegellianisme Relijius. Pandangan Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham idealisme para penganut Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam idealisme hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik, kesadaran yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah.[18]

Jika demikian apakah ini berarti Kuntowijoyo menganut konsep determinisme sebagaimana dinyatakan Heru?. Ilmu sosial selama ini terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme. Marxisme menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan superstructure, sedang sosiologi Weberian menganut determinisme kesadaran. Weber meyakini bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa menggerakkan perubahan.

Sepintas kita melihat bahwa Ilmu Sosial Profetik dekat dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya kesan ini kliru karena Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran material. Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis materialnya.[19]

Pandangan deterministis, baik determinisme material maupun determinisme kesadaran, sama-sama ahistoris dan bersikap apriori terhadap realitas. Dalam logika Marxis, structure itu bersifat obyektif, dalam arti independen dari kehendak (subyektifitas, kesadaran) manusia. Karena itu kesadaran, kehendak, dan subyektifitas manusia (superstructure) menjadi tidak bermakna karena structure menentukan superstructure. Subyektifitas manusia ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas material. Dalam kenyataannya, tidak pernah ada sebuah penundukan yang berlangsung secara total. Obyektifitas material memang seringkali sangat hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah benar-benar mampu ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang emansipatoris bagi subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni materi. Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis material) karena superstructure menentukan structure. Pandangan ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang kesadarannya bersifat sangat materialistis. Kesadaran material adalah kesadaran yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya. Karena itu, kedua bentuk determinisme itu sama-sama bermasalah, karena realitas sesungguhnya bersifat dialektis, tidak deterministik. Realitas sosial berjalan di atas ketegangan dialektis antara structure dan superstructure, antara basis material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas manusiawi.

Ilmu Sosial Profetik tidak boleh terjebak dalam logika deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas. Artinya untuk menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat itu lebih berperan, Ilmu Sosial Profetik hendaknya mendasarkan diri pada pengamatan empiris atas realitas. Karena realitas itu terlalu kompleks untuk dijelaskan melalui konsep deterministik. Pandangan deterministik justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori, sedang teori seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya.

Walaupun demikian, penting bagi Ilmu Sosial Profetik untuk tetap memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan fungsi kritisnya dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita dapat menyetujui pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di atas basis material, karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran dalam proses transformasi sosial.

MENUJU SOSIOLOGI PROFETIK

Sosiologi Profetik itu kita maksudkan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik. Dengan demikian kita dapat menggariskan beberapa hal. Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Ketiga, secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritis (teori kritis). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi kritis. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi. Keempat, sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).

Barangkali yang menyebabkan Sosiologi Profetik menjadi problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga mengakui wahyu sebagai bagian sah dari sumber pengetahuan. Kontroversial, karena ilmu sosial modern sudah terlanjur mencampakkan wahyu dalam kategori mitos atau metafisika yang tidak mempunyai dasar empiris. Problematis, karena ide ini dapat saja serta merta dipahami oleh para penganutnya dalam perspektif teologis-normatif, sehingga kita akan susah membedakan mana sosiologi mana teologi, mana empiris mana normatif. Dalam konteks ini, Sosiologi Profetik memiliki sebuah agenda besar: rekonstruksi epistemologis.

Rekonstruksi epistemologis itu pertama, harus mampu membongkar akar-akar pemisahan wahyu dari wilayah ilmu pengetahuan dan selanjutnya membuktikan bahwa wahyu sesungguhnya dapat secara sah menjadi bagian dari epistemologi ilmu sosial. Dalam hal ini, tulisan Loay Safi kiranya sangat relevan. Safi mampu membuktikan melalui penelaahan terhadap sifat-sifat wahyu, rasionalitas, dan kualitas bukti yang diajukannya, bahwa penolakan terhadap wahyu sebagai sumber pengetahuan sesungguhnya didasarkan pada alasan-alasan absurd dan artifisial, dibuat-buat dan bahwa konflik wahyu versus ilmu pengetahuan bukanlah konflik imperatif ataupun universal, tapi khas Barat. Karenanya, Louay Safi menyatakan, berbagai upaya untuk mereproduksi konflik ini dalam kebudayaan muslim adalah artifisial belaka dan didorong oleh keinginan irrasional untuk berjalan di atas landasan kebudayaan lain.[20] Kedua, rekonstruksi epistemologis juga harus mampu menyediakan dasar-dasar metodologis untuk dapat membawa masuk wahyu ke dalam kancah ilmu sosial. Untuk keperluan ini, pendekatan teologis-normatif yang selama ini telah begitu hegemonik di benak kita harus dirubah ke arah pendekatan empiris-faktual. Orientasi teks harus dirubah ke arah orientasi realitas. Gagasan Kuntowijoyo tentang methodological objectivism atau obyektifikasi dapat dipahami dalam konteks ini.
Yang agak mengherankan dari pemikiran Kuntowijoyo adalah gagasannya tentang paradigma al-Quran untuk perumusan teori. Dalam banyak tulisan mengenai Ilmu Sosial Profetik, gagasan ini akan dipandang sebagai salah satu dasar dari ide Ilmu Sosial Profetik. Yang kita permasalahkan adalah posisi Kuntowijoyo dalam merumuskan gagasannya ini tampaknya belum beranjak dari pendekatan teologis. Kuntowijoyo menyatakan, apa yang disebutnya sebagai paradigma al-Quran itu tak lain adalah mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas. Maksudnya adalah pengakuan mengenai adanya ide murni yang bersifat adimanusiawi atau bangunan ide transendental yang bersifat otonom dan sempurna. Persis di sinilah gagasan ini menjadi teologis karena masih mengasumsikan kesempurnaan ide dan sifatnya yang dari Tuhan. Konsekwensinya adalah wahyu itu dalam Ilmu Sosial Profetik diposisikan lebih tinggi daripada realitas atau rasio. Dengan demikian Ilmu Sosial Profetik jatuh ke dalam sikap teologis atau dogmatis.

Dalam teologi, asal-muasal wahyu serta kesempurnaan ide Tuhan itu menjadi bagian yang sangat penting bagi iman. Demikian juga perdebatan mengenai posisi wahyu terhadap rasio menjadi bagian penting dari wacana teologis. Dalam ilmu sosial, ini semua tidak relevan. Ilmu sosial tidak mempermasalahkan dari mana wahyu itu berasal tapi apa yang dikatakan wahyu itu tentang realitas. Klaim kesempurnaan ide transendental itu, walaupun dalam teologi penting, dalam ilmu sosial tidak lagi relevan, karena apa yang kita sebut sebagai ide Tuhan itu sesungguhnya telah melalui proses pemahaman yang sepenuhnya bersifat manusiawi. Karena itu, ilmu sosial tidak berbicara tentang kebenaran ide Tuhan yang ada di benak Tuhan itu sendiri tapi berbicara tentang penafsiran relatif manusia atas ide Tuhan yang dapat saja direkonstruksi, direvisi, difalsifikasi atau bahkan ditolak tanpa harus takut dianggap menolak Tuhan karena yang sedang kita permasalahkan adalah penafsiran manusia yang sifatnya relatif. Ilmu sosial juga tidak perlu menganut hierarkhi antara wahyu, realitas dan rasio. Tema ini biarlah menjadi garapan teologi atau ilmu syari’ah. Ilmu sosial perlu membedakan diri dari teologi ataupun syari’ah. Karena itu ilmu sosial tidak mempermasalahkan hierarkhi epistemologis tapi apa yang dinyatakan oleh wahyu, realitas dan rasio itu.[21]

Ketiga sumber pengetahuan ini (wahyu, realitas empiris dan rasio) dalam Sosiologi Profetik haruslah diletakkan secara dialektis, karena itu wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu yang lepas dari realitas hanya akan menjadi ide abstrak yang tidak berhubungan dengan realitas kemanusiaan. Wahyu haruslah senantiasa dipahami dalam relasinya dengan realitas empiris. Karena keterkaitan yang tak terpisahkan dengan realitas maka teori-teori sosial yang tercipta menjadi bersifat temporal. Ide-ide dalam kitab suci, secara teologis, memang diyakini bersifat universal dan abadi, tapi sepanjang dalam kaitannya dengan konteks sosio historis yang khusus maka makna yang terbentuk darinya menjadi temporal. Pemahaman seperti ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer di mana ia muncul.[22] Memang kadang ia berhubungan dengan masa lalu melalui analisis-analisis historis tapi dalam konteks ini masa lalu hanya penting dalam rangka memperjelas realitas kekinian. Jika berbicara tentang masa depan, itupun sebatas pada mempersiapkannya sebagai bentuk muatan utopis dalam teori sosial yang berfungsi kritis.

Dari sini lalu muncul persoalan lain, dari manakah kita mesti memulai, dari realitas atau dari ide?. Sosiologi positivistik meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita harus memulai dari realitas karena realitaslah yang merupakan sumber valid dari sosiologi. Tapi benarkah kita dapat sepenuhnya berangkat dari realitas?. Dalam kenyataannya, kita tidak bisa melakukan aktifitas ilmiah dalam ruang hampa tanpa ide. Seorang peneliti tidak dapat masuk dalam realitas dalam kondisi vacuum tanpa konsep apapun. Walaupun konsep itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi disadari atau tidak, otak manusia adalah konstruksi dari berbagai macam ide yang membentuk cara berpikirnya. Karena itu ide tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi ide dan realitas adalah dialektis. Realitas mempengaruhi ide, ide juga ikut berperan dalam mengkonstruk realitas. Kita tidak perlu bersikukuh untuk berangkat dari realitas karena pada dasarnya otak kita tidak pernah sepi dari ide. Ide dan realitas harus didialektikakan dalam proses penelitian sosial.

POSISI PARADIGMATIK SOSIOLOGI PROFETIK

Agak susah untuk mendefinisikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik, karena Sosiologi Profetik itu sendiri sesungguhnya masih merupakan sebuah tawaran yang akan dilihat kemungkinannya di masa depan. Dengan demikian bangunan Sosiologi Profetik itu sendiri masih tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba menentukan ke mana arah gerak dari Sosiologi Profetik ini di masa depan.

Jika kita mengikuti pembagian Ritzer, Sosiologi Profetik tampaknya bergerak diantara dua kutub: kutub paradigma fakta sosial dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis antara structure dan superstructure Sosiologi Profetik agaknya sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang dikemukakan Peter L. Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[23] Dengan eksternalisasi, dimensi internal subyektif terus-menerus dicurahkan keluar kedirian manusia dalam bentuk perilaku sosial untuk membentuk kebudayaan. Kebudayan terbentuk ketika dimensi internal subyektif telah menjelma menjadi faktisitas yang bersifat eksternal dan obyektif. Inilah yang disebut dengan obyektivasi. Kesadaran (superstructure) adalah bagian dari dimensi internal subyektif. Karena itu, melalui eksternalisasi, kesadaran ikut menentukan kebudayaan dan menggerakkan perubahan. Dengan internalisasi, manusia menyerap kembali dimensi eksternal obyektif yang ada di sekitarnya ke dalam struktur kesadaran subyektifnya. Basis material (structure) adalah bagian dari dimensi eksternal obyektif. Karena itu, melalui internalisasi, basis material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian structure dan superstructure, dalam proses-proses sosial, berdialektika melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Dengan cara pandang Sosiologi Profetik mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi sosial) dan fakta-fakta obyektif—termasuk diantaranya basis material—(paradigma fakta sosial), adalah dua hal yang menyebabkan munculnya realitas sebagaimana diungkap Berger dan Thomas Luckmann.[24] Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa sosiologi profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial yang bersifat eksternal dan koersif (paradigma fakta sosial), sekaligus mengakui adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang dibangun individu dalam proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).

Sosiologi Profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt. Max Horkheimer mencirikan teori kritis dengan Pertama, teori kritis bersifat historis, artinya dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori kritis tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala masa dan tempat. Kedua, teori kritis bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga, teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritis itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan teori kritis itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah tertentu. Pemihakan itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan sosialnya. Dengan demikian, teori kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Jadi teori kritis mengandung muatan utopia tertentu sehingga tidak netral. Teori kritis adalah teori dengan maksud praksis emansipatoris.[25]

Dari pemaparan di atas, tampak bahwa Sosiologi Profetik sesungguhnya memiliki kedekatan secara metodologis dengan teori kritis. Menjadi lebih jelas dengan sendirinya bahwa Sosiologi Profetik, sebagaimana teori kritis, menolak netralitas ilmu pengetahuan sebagaimana dianut dalam positivisme ilmu sosial. Ilmu Sosial Profetik bahkan secara tegas menyebut landasan nilainya yaitu berupa nilai-nilai Islam yang dirumuskan menjadi tiga dan sekaligus menjadi unsur-unsurnya: humanisasi, liberasi, transendensi.

Melalui pemihakan terhadap ilmu sosial yang perfeksionis, communitarian, yaitu ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah obyek penelitian, komunitas dan penolakan terhadap ilmu sosial empiris analitis yang menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis,[26] Sosiologi Profetik dengan demikian, tidak bermaksud mengkonstruksikan hukum-hukum yang diasumsikan bersifat universal. Karenanya, Sosiologi Profetik juga bersifat historis

Inilah salah satu perbedaan ide Sosiologi Profetik dengan sebagian penganut ide islamisasi ilmu sosial yang sering didengungkan. Islamisasi ilmu sosial walaupun menolak klaim positivis dalam hal netralitasnya, namun para penganjur islamisasi ilmu sosial sering terjebak dalam upaya untuk mengkonstruksi hukum-hukum sosial yang diakui universal. Para penganut ide islamisasi ilmu sosial meyakini ayat-ayat Tuhan yang dijadikan landasan bagi konstruksi teori-teori sosial pasti benar dan bersifat universal, karenanya teori yang dihasilkannya juga bersifat universal. Dalam pengertian ini islamisasi ilmu sosial sesungguhnya juga bersifat positivis. Sikap seperti ini tentu saja kontradiktif. Di satu sisi para penganjur islamisasi ilmu sosial menolak klaim universal dari ilmu sosial barat (positivisme) beserta motif-motif ideologisnya. Di sisi lain penolakan ini justru diikuti dengan anjuran untuk merumuskan teori-teori sosial Islam yang bersifat universal. Penolakan atas klaim universalitas teori-teori sosial positivis dinegasikan sendiri oleh klaim universalitas teori sosial Islam.[27] Artinya baik ilmu sosial positivis maupun ide islamisasi ilmu sosial, melalui klaim universalitasnya, keduanya jatuh dalam sikap ideologis. Ini berbeda dengan sosiologi profetik. Sosiologi profetik meletakkan ayat-ayat Tuhan dalam konteks yang historis (berada dalam pusaran ruang dan waktu) sehingga teori yang dihasilkan bersifat historis juga, tidak universal.

Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi, Sosiologi Profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori kritis, Sosiologi Profetik juga dimaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris. Dengan sendirinya, dapat disimpulkan, Sosiologi Profetik berpendapat bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori tidak perlu dipisahkan dari praksis. Kepentingan praksis Sosiologi Profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Sosiologi Profetik sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan atau memahami realitas sosial apa adanya, tapi lebih dari itu, Sosiologi Profetik diusulkan untuk kepentingan transformasi sosial menuju cita-cita profetis.

Yang menjadikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik menjadi unik adalah bahwa Sosiologi Profetik juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu, dalam Sosiologi Profetik, nilai-nilai relijiusitas menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris dalam Sosiologi Profetik diletakkan dalam konteks transendensi.

DARI MANA MESTI MULAI?

Sat hal yang kemudian perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa mengembangkan ilmu atau peradaban apapun di dalam kondisi vacuum. Artinya, keinginan kita untuk mengembangkan sebuah alternatif pemikiran tidak bisa dilakukan dengan jalan memencilkan diri dan memisahkan diri dari konstelasi besar ide, gagasan dan peradaban dunia. Keinginan untuk mengembangkan sosiologi lepas dari paradigma-paradigma yang selama ini telah berkembang adalah sebuah sikap yang ahistoris dan irrasional yang hanya akan menjadi kontraproduktif. Sosiologi modern (Barat) adalah khazanah yang terlalu berharga untuk kita tinggalkan begitu saja. Dalam konteks ini, Barat dan Timur, Islam dan di luar Islam, adalah kategori-kategori yang tidak relevan.

Sikap paling bijak adalah menjadikan gagasan-gagasan yang berkembang dalam sosiologi modern itu sebagai sarana untuk memperkaya dan kemudian mencari sintesis-sintesis alternatif yang lebih sesuai dengan konteks keindonesiaan dengan seperangkat kekhasan budayanya, sebagaimana yang dilakukan Kuntowijoyo selama ini. Bahkan, kita juga dapat menjadikan beberapa gagasan dalam ilmu sosial modern yang telah berkembang sebagai pijakan awal dalam mengembangkan sosiologi profetik. Teori kritis misalnya, memiliki kedekatan paradigmatis dengan sosiologi profetik dalam konteks membangun ilmu sosial yang emansipatoris. Saya rasa kita bisa berangkat dari sini. Teori kritis telah berbicara tentang banyak hal. Misalnya saja, kita bisa belajar dari teori kritis bahwa untuk mengembangkan ilmu sosial yang tidak membedakan antara teori dan praksis, antara ilmu dengan kepentingan kemanusiaan, kita perlu merumuskan konsep praksis seperti apa yang pas. Jika Marxisme mendasarkan praksisnya pada konsep kerja, teori kritis (Generasi kedua,-Habermas) mendasarkannya pada konsep komunikasi, maka sosiologi profetik sebagai ilmu sosial yang berorientasi praksis pun harus merumuskan konsep praksisnya, apakah akan mengambil gagasan Habermas atau akan menawarkan sesuatu yang lain?. Transendensi misalnya, menurut saya, dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif konsep praksis itu.

Singkatnya, kita ingin menjadikan sosiologi profetik sebagai bagian dari perkembangan paradigma sosiologi modern dan bukan lepas darinya, tentu saja dengan kekhasan alternatif yang hendak kita tawarkan.

Untuk itulah, kita perlu merumuskan agenda apa yang akan kita lakukan. Pada prinsipnya sosiologi profetik memiliki beberapa urutan agenda sebagaimana terlihat pada bagan di bawah ini:

Paradigma --> Konstruk Teori --> Praxis --> Transformasi Sosial

Jika kita mengacu pada bagan di bawah ini tampaknya ISP yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo masih berkutat pada wilayah paradigma. Karena itu setidaknya ada tiga agenda penting yang harus kita lakukan untuk mengembangkan sosiologi profetik yaitu teorisasi, praxis dan transformasi. Kita perlu menekankan teorisasi karena selama ini, umat Islam ini miskin teori. Kita lebih banyak berkutat pada masalah-masalah normatif. Akibatnya kita tidak paham realitas karena kita tidak memiliki perangkat teoritis untuk memahaminya. Konsepsi normatif seringkali berbeda, bahkan tak jarang berseberangan dengan realitas. Itu sebabnya, umat Islam kerap kebingungan ketika berhadapan dengan realitas yang ternyata tidak selalu sesuai dengan apa yang dikonsepkan secara normatif.

Selanjutnya adalah praxis. Untuk keperluan ini, kita memerlukan sebuah konsep praxis. Praxis adalah konsep sentral bagi teori-teori yang mencari pertautannya dengan kehidupan sosial karena pemahaman tentang praxis menentukan bagaimana suatu teori dengan maksud praktis dilaksanakan.[28] Ini adalah salah satu agenda besar yang harus dikaji lebih lanjut oleh Sosiologi Profetik. Sosiologi Profetik untuk dapat mewujudkan cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi perlu merumuskan konsep praxis seperti apa yang hendak ia gunakan.

Terakhir, sebagai konsekwensi teoritis ISP, kita juga perlu transformasi. Umat Islam selama ini tidak memiliki kesadaran historis, sehingga selalu mengulang persoalan-persoalan lama. Cara berpikir ideologis misalnya, sampai saat ini masih kental di kalangan umat Islam, bahkan masih ada yang tenggelam dalam cara berpikir mitis dan magis, padahal kita sudah sampai pada zaman ilmu (mengikuti periodesasi sejarah Indonesia versi Kuntowijoyo: mitos, ideologi dan ilmu). Untuk itu ISP harus terlibat aktif dalam aktifisme sejarah untuk melakukan proses transformasi sosial Indonesia menuju tatanan masyarakat yang lebih humanis, liberatif dan transenden.

Untuk keperluan transformasi, sosiologi profetik perlu merumuskan kelompok sasarannya. Pada Marxisme, teorinya dialamatkan kepada kaum proletariat sebagai ‘jantung hati revolusi’. Generasi pertama teori kritis mengalamatkan teorinya pada cendekiawan dan mahasiswa karena mereka tak lagi menaruh harapan pada kaum proletar. Habermas mengalamatkan teorinya pada rasio manusia yang berpihak. Habermas memang tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, tapi rasio yang memihak itu akan menunjukkan siapa yang harus dibebaskan.[29] Sosiologi Profetik, menurut saya, perlu merumuskan sasarannya. Praksis liberasi, humanisasi, dan transendensi memerlukan identifikasi sasaran untuk dapat menjadi praktis. Konsep praxis dan kelompok sasaran sosiologi profetik adalah dua hal yang penting untuk dapat mewujudkan teori sosiologi profetik ke dalam kenyataan sosial.

Seekor ikan melompat keluar dari aquarium. Seketika dia tersadar, dari luar dia bisa melihat bahwa dunia yang selama ini dia tempati ternyata hanyalah sebuah kotak kecil berisi air yang ukurannya sangat terbatas. Di luar, dia dapat melihat bahwa dunia ini tidak hanya seluas aquarium.

Demikianlah, para sosiolog kita tampaknya perlu meniru ulah si ikan. Para sosiolog perlu mencoba untuk keluar dari batasan-batasan paradigmatik yang telah tersedia dalam sosiologi untuk menciptakan alternatif-alternatif paradigmatik yang lebih sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Sosiologi profetik kiranya merupakan alternatif semacam itu.

Dengan mencoba keluar dari batasan paradigmatik yang sudah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan paradigma yang sudah ada sehingga mampu menawarkan sebuah alternatif. Tentu saja ini perlu keberanian sebagaimana sang ikan. Ikan yang keluar dari aquarium itu bisa jadi menanggung resiko yang tidak ringan seperti tidak lagi mendapat jatah makan dari tuannya. Tapi dia telah melakukan langkah berani dan itu yang harus dihargai.

FOOTNOTES

[1] L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde, Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa Sumekto, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 137

[2] F. Budi Hardiman, “Ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pascamodernisme”, dalam Suplemen Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 1, Vol. V, Th. 1994), hlm. 3.

[3] Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology, London: Heinemann, 1975, hlm. 3-4

[4] David J. Gray, “Value Free Sociology: A Doctrine of Hypocrisy and Irresponsibility”, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers (Ed.), Sociology for The Seventies, (New York: John Wiley, 1968), hlm. 14.

[5] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 58.

[6] Ibid.

[7] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 362.

[8] Ibid. hlm. 364-365.

[9] Wawancara Arief Subhan dengan Kuntowijoyo, “Dr. Kuntowijoyo: al-Quran Sebagai Paradigma”, Jurnal Ulumul Quran, (nomor 4, volume V, tahun 1994), hlm. 99-100.

[10] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 373.

[11] Kunto memaparkan gagasannya ini pada bukunya yang cukup terkenal Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997).

[12] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 364-365.

[13] Tentang humanisme teosentris, baca Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 228-230.

[14] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 366-369.

[15] Kuntowijoyo, “Paradigma Baru Ilmu-ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik Sebagai Gerakan Intelektual”, Jurnal Mukaddimah (Nomor 7, Tahun V/1999), hlm. 104.

[16] Kuntowijoyo, “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika (19 Agustus 1997)

[17] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 358.

[18] Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).

[19] Kuntowijoyo, Identitas., hlm. 224

[20] Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, (The Foundation of Knowladge: A Comparative Study In Islamic and Western Methodes of Inquiry), alih bahasa Imam Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hlm. 214.

[21] Secara lebih panjang, persoalan ini saya bahas dalam skripsi saya, Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik: Telaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sosiologi, skripsi, Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2003, hlm. 151-159.

[22] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi, kata pengantar M. Amin Abdullah, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 150.

[23] Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta: LP3S, 1991, hlm. 4-23.

[24] Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books, 1967, hlm. 18. Baca juga George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), disadur oleh Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hlm. 115.

[25] Dikutip dalam F Budi Hardiman, Kritik., hlm. 58.

[26] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 360-361.

[27] Kita dapat menemukan sikap-sikap seperti ini, baik secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit dapat dibaca misalnya dalam karya Ilyas ba Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer (Islamic sociologi: an Introduction), alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung : Mizan, 1988, hlm. 61. Dinyatakan bahwa sosiologi Islam harus dapat diterapkan pada manusia secara universal, dimana saja dan kapan saja. pernyataan yang sama juga kita temukan pada tulisan Syed Farid Alatas, “Agama dan Ilmu-ilmu sosial”, dalam jurnal Ulumul Qur’an (No2, vol 5 th. 1994), hlm. 47. Alatas menyatakan bahwa ilmu sosial Islam haruslah dapat digunakan untuk menguraikan dan menafsirkan seluruh umat manusia. Secara implisit dapat kita baca pada tulisan Ismail Raji Al Faruqi, ‘Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial’, dalam Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective), Alibasa Muchtar Effendi Harahap, Yogyakarta : PLP 2M, 1985, hlm. 16 – 17. Dalam tulisan ini, Alfaruqi menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial, yang disebutnya sebagai ilmu ummatiyah, berusaha menemukan dan memahami sunatullah. Pernyataan ini dengan sendirinya mengasumsikan adanya hukum-hukum yang bersifat universal, karena dalam Islam suntullah diyakini tidak pernah berubah di manapun dan kapanpun.

[28] F. Budi Hardiman, Kritik., hlm. 86.

[29] Ibid., hlm 82-84.
DAFTAR PUSTAKA

L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde, Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa Sumekto, Jakarta: Gramedia, 1983
F. Budi Hardiman, “Ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pascamodernisme”, dalam Suplemen Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 1, Vol. V, Th. 1994)
Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology, London: Heinemann, 1975F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990,
Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 2001
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, (The Foundation of Knowladge: A Comparative Study In Islamic and Western Methodes of Inquiry), alih bahasa Imam Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik: Ttelaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sosiologi, skripsi, Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2003
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi, kata pengantar M. Amin Abdullah, (Jakarta: Teraju, 2002
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta: LP3S, 1991
Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books, 1967
George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), disadur oleh Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1985
Ilyas ba Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer (Islamic sociologi: an Introduction), alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung : Mizan, 1988
Syed Farid Alatas, “Agama dan Ilmu-ilmu sosial”, dalam jurnal Ulumul Qur’an (No2, vol 5 th. 1994)
Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective), Alibasa Muchtar Effendi Harahap, Yogyakarta : PLP 2M, 1985

Agenda Reformasi Kultural Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia


Oleh: Husnul Muttaqin
Dimuat dalam Jurnal Studi Agama Millah Vol. IV, No. 1, Agustus 2004 (Jurnal milik Magister Studi Islam UII)


Pengantar


Saat kita berbicara tentang agama, yang terlintas dalam benak kita adalah seperangkat nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan yang sedemikian indah, mempesona dan komprehensif. Bagaimana tidak luhur jika yang diajarkan oleh setiap agama adalah kebaikan dan menolak segala bentuk kejahatan. Bagaimana tidak humanis jika setiap agama bercita-cita untuk memanusiakan manusia, memberi makna pada kehidupannya, berbuat baik pada sesama, melarang tindakan yang membahayakan orang lain. Nilai-nilai inilah yang dalam sejarah kemanusiaan telah memoles wajah dunia menjadi lebih manusiawi.

Tapi bersamaan dengan itu, kita terpaksa harus menelan kekecewaan yang mendalam bahwa nilai-nilai luhur transendental itu tidak selamanya menjadi kenyataan kehidupan yang menyejarah. Sejarah agama justru sering kali diwarnai dengan nuansa dehumanis yang pekat, jauh dari nilai-nilai luhur yang diidealkan. Dalam dataran idealitas, kita dapat saja meyakini bulat-bulat bahwa agama kita benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tapi kita tidak dapat menutup mata dengan kenyataan bahwa salah satu sisi paling kelam dalam sejarah manusia adalah sejarah agama yang telah menimbulkan korban-korban kemanusiaan yang luar biasa massif. Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa melayang atas nama agama, dari yang masih berada dalam kandungan sampai kakek-kekek tua, entah bermakna atau sia-sia.

Di dalam setiap peradaban, termasuk peradaban agama, hampir selalu kita temukan sejarah yang dibangun di atas cucuran darah dan keringat manusia yang seharusnya menikmati hasil-hasil peradaban dalam kedamaian dan ketenangan. Ali Syari’ati melukiskannya dalam kalimat yang sangat ekspresif: “Lagi-lagi, atas dalih “perang suci”, kami dipaksa untuk bertempur. Kami harus korbankan anak-anak kami yang lugu hanya untuk kepentingan “tuhan”, kuil, dan berhala!”.[1] Ayat-ayat Tuhan diukir di atas pedang terhunus yang dengannya, kepala-kepala melayang seolah tak berharga. Tragisnya, pembunuhan ternyata tidak hanya terjadi di medan perang, di dalam tempat ibadah pun, terjadi pembunuhan.[2] Rumah Tuhan telah dikotori oleh darah. Rodney Stark mencatat, bahwa perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik antar golongan yang paling brutal dalam sejarah manusia.[3]

Kita tahu persis, tidak satupun agama di dunia ini yang bercita-cita membuat sebuah tragedi dalam sejarah kemanusiaan. Justru agama datang dengan janji keselamatan dan kedamaian. Agama pada dasarnya mengajarkan cinta bukan kebencian, kedamaian bukan peperangan. Islam menegaskan, menghilangkan nyawa seorang manusia sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia, dan menolong kehidupannya berarti menghidupkan seluruh umat manusia. Kata Tuhan: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[4] Sebuah ajaran yang sedemikian indah dan luhur. Karena itulah, jika kemudian dalam sejarahnya, banyak terjadi pertumpahan darah atas nama agama, itu adalah sebuah penghianatan atas agama itu sendiri.

Agama, dengan demikian, harus dikembalikan kepada fungsinya semula, sebagai penebar kedamaian di muka bumi. Hans Kung menegaskan dengan begitu persuasif: "there will be no peace for our world unless there is peace among the religion" ( tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama).

Indonesia: Sejarah Yang Tercabik

Kita pernah dikenal sebagai bangsa yang menjadi contoh dari kerukunan hidup antar umat beragama. Sebagai sebuah bangsa yang sangat plural, dengan beragam latar belakang agama, kultur, etnis, ideologi dan seabrek perbedaan lainnya, adalah prestasi yang membanggakan bahwa dalam sejarahnya, dunia pernah mencatat nama bangsa kita sebagai sebuah bangsa yang mampu hidup secara damai dan berdampingan di dalam perbedaan.

Amat disayangkan, jika di kemudian hari, kita sendirilah yang telah mencabik-cabik sejarah bangsa ini dengan catatan kelam kekerasan yang bernuansa agama. Konflik Poso, Ambon adalah sebagian dari contohnya yang membuat malu bangsa kita. Belum lagi serangkaian tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Bali adalah kasus mutakhir yang seluruh dunia mengecamnya sebagai tindakan biadab yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita.

Lantas, kenapa agama yang cita-cita terluhurnya adalah keselamatan bagi seluruh umat manusia tiba-tiba menampakkan wajah yang demikian berbeda?.

Banyak cara untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam kasus Indonesia, apa yang selama ini kita sebut sebagai kerukunan umat beragama itu, dalam kenyataan sejarahnya ternyata menyimpan masalah. Kerukunan itu bukanlah hasil dari sebuah proses kultural yang berlangsung secara natural dan berkesadaran, tapi kerukunan yang dipaksakan oleh kekuatan politik otoriter Orde Baru. Sehingga selama ini kita sesungguhnya hanya “pura-pura” rukun. Kerukunan itu tidak muncul dari arus kesadaran kultural yang berproses dalam kehidupan masyarakat sendiri, sehingga tidak benar-benar mengakar.

Orde Baru, dengan pembangunan ekonomi sebagai panglimanya, sadar benar dengan pentingnya stabilitas. Karena itu, dengan segala cara, diciptakanlah segala perangkat untuk mewujudkannya. Dengan cara pandang seperti ini, penguasa Orde Baru melihat bahwa pluralitas agama adalah sebuah potensi konflik yang dapat membahayakan stabilitas. Maka diciptakanlah konsep SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan).

Teori SARA pernah begitu mengemuka di masa Orde Baru yang pengaruhnya hingga kini masih juga kita rasakan. Dalam teori ini, Suku, Agama, Ras dan Antargolongan dianggap amat peka, rentan, eksplosif, penuh resiko dan karena itu berbahaya. Ignas Kleden membuktikan bahwa secara praksis, teori ini justru merugikan, dan secara teoritis, kebenarannya amat sulit dibuktikan, sedang kekeliruannya dapat ditunjuk dengan mudah.[5]

Secara praktis, kalau benar bahwa hubungan antar agama itu penuh dengan kemungkinan konflik dan kalau benar bahwa konflik itu dengan mudah menyulut penggunaan kekerasan, maka tiap kelompok agama akan memilih untuk lebih baik berada dalam kelompoknya sendiri, mengurangi kontak dan komunikasi dengan kelompok lainnya dan kalau perlu tidak usah berhubungan sama sekali.[6]

Inilah keyakinan yang hendak ditanamkan dengan teori SARA. Dan celakanya, keyakinan ini kemudian dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hubungan antar agama dipercaya penuh dengan potensi konflik, sehingga masing-masing penganut agama cenderung bersikap eksklusif. Dampak lanjutannya adalah tidak adanya saling pengertian antara pemeluk agama yang berbeda karena tidak adanya proses dialog konstruktif akibat eksklusifitas ini. Dengan cara ini, potensi konflik justru kemudian menjadi rawan. Karena itu, secara praksis, teori SARA justru berbahaya.

Secara teoritis, SARA didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan selalu mengandung konflik dalam dirinya. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Orang dapat saja hidup dalam perbedaan tanpa adanya konflik yang menyertai.[7] Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologi, ekonomi, politik, umat manusia menjalin kehidupan bersama yang bersifat pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja.[8]

Dalam lapangan kepentingan ideologi, ekonomi, dan politiklah, perbedaan agama menjadi berwajah konflik. Kenyataan sejarah membuktikan, konflik agama tidak pernah berdiri sendiri sebagai murni persoalan pertentangan teologis tapi konflik agama selalu berkelindan dengan kepentingan kekuasaan. Proses sejarah ini menyebabkan pemahaman dan penghayatan keagamaan bangsa kita cenderung bersifat ideologis tertutup.

Dengan melihat latar belakang sosio-historis semacam ini, salah satu yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan kenyataan akan pluralitas agama dalam kondisinya yang wajar dan alami sebelum dicampuri oleh kepentingan kekuasaan. Untuk itu, diperlukan reformasi kultural dalam relasi antar umat beragama. Kita perlu membuka jalan agar interaksi antar umat beragama mampu menjadi media komunikasi yang efektif untuk terciptanya perdamaian. Kebekuan dan eksklusifitas harus dicairkan. Agama seharusnya menjadi jembatan untuk saling memahami, bukannya saling mencurigai, saling menghargai, bukan saling membenci. Dalam konteks ini menarik untuk mendiskusikan gagasan Kuntowijoyo tentang obyektifikasi Islam.

Obyektifikasi: Agenda Kultural Hubungan Antar Agama

Bagi Kuntowijoyo, obyektifikasi adalah jalan tengah bagi konflik ideologis yang sering kali menyeruak ke permukaan. Obyektifikasi merupakan suatu prilaku atau proses untuk mengobyektifkan suatu gagasan abstrak sehingga menjadi bersifat eksternal dari pikiran subyek. Dengan demikian gagasan tersebut memperoleh status obyektif sebagai eksistensi yang berdiri sendiri.[9]

Kuntowijoyo membedakan prilaku obyektif menjadi dua, prilaku obyektif aktif dan pasif. Pasif dalam arti menerima kenyataan obyektif yang disodorkan atau yang telah ada dalam realitas kehidupan. Ketika kita membeli produk elektronik misalnya, yang menjadi pertimbangan adalah kualitas dan harga barang tersebut. Jika seorang sopir bus bekerja, ia tak akan menanyakan agama para penumpangnya. Yang kedua adalah prilaku obyektif aktif yang tak lain adalah obyektifikasi itu sendiri.[10] Jadi, obyektifikasi merupakan prilaku aktif untuk mengobyektifkan gagasan-gagasan.

Obyektifikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori obyektif.[11] Obyektifikasi Islam artinya penterjemahan nilai-nilai Islam yang telah diserap ke dalam struktur kesadaran internal menjadi bentuk-bentuk yang obyektif. Islam yang semula adalah nilai-nilai yang bersifat subyektif, dengan obyektifikasi ditransformasikan menjadi nilai-nilai obyektif, lepas dari sifat subyektifnya. Hal ini membedakannya dari eksternalisasi yang dipakai untuk menunjuk pada proses kongkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal dalam bentuk-bentuk yang khas keagamaan. Obyektifikasi juga merupakan kongkretisasi dari keyakinan internal tapi harus diwujudkan dalam kategori-kategori obyektif yang semua agama dapat memahaminya tanpa harus mengerti nilai-nilai asal. Kita dapat menyebut sebuah contoh. Dalam Islam, ada ajaran tentang zakat. Melalui obyektifikasi, zakat akan diwujudkan dalam cita-cita kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Berangkat dari konsep obyektifikasi, Agama-agama akan menggarap beberapa agenda kultural penting:

Pertama, masing-masing agama harus menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi obyektif sehingga dapat diterima semua pihak.[12]

Salah satu kendala yang sering menjadi penghambat bagi sebuah jalinan interaksi dan komunikasi yang intens, aktif, dan progresif adalah tidak adanya upaya saling memahami antar pemeluk agama. Masing-masing agama mempunyai kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki oleh lainnya.
Interaksi dan komunikasi dimungkinkan untuk dapat terjalin dengan baik tatkala terdapat satu pemahaman yang sebisa mungkin utuh antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini. Dalam sebuah proses komunikasi, bahasa menempati kedudukan yang sangat sentral. Melalui bahasa, makna-makna disampaikan sehingga terjalin interaksi intersubyektif untuk mencari kesepakatan bersama atau setidaknya sebuah kesepahaman.

Di sinilah letak permasalahannya, masing-masing agama memiliki ungkapan-ungkapan yang secara nyata berbeda satu sama lain. Dalam situasi percakapan atau komunikasi yang melibatkan variasi terminologis, proses pencapaian intersubyektifitas akan terganggu. Kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses ini. Terminologi-terminologi yang sifatnya sangat subyektif tidak dapat dipahami oleh para penganut agama lain. Memang bisa jadi, ada diantaranya yang mampu memahaminya, terutama yang sudah terbiasa terlibat dalam proses dialog antar agama, tapi jumlahnya sangat terbatas, karena itu tidak akan signifikan untuk dapat memunculkan kesadaran intersubyektif diantara para pemeluk agama yang berbeda secara luas. Disamping itu, sifat terminologi agama yang sangat subyektif meniscayakan adanya sekat-sekat ideologis dan psikologis sehingga proses untuk saling memahami menjadi terganggu.

Kita bisa jadi sepakat dalam maknanya yang substansial dan transenden (melampaui dimensi literal-terminologis), tapi sekat-sekat ideologis dan psikologis akibat penggunaan terminologi yang bersifat subyektif seringkali menyebabkan munculnya sikap egosentris yang menghalangi peleburan kesadaran menuju cita-cita bersama. Kita dapat mengambil contoh. “Zakat” adalah sebuah terminologi yang khas Islam. Saya yakin, tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki kepedulian terhadap nasib kaum papa. Tapi ketika konsep “zakat” ditawarkan pada publik dalam bajunya yang subyektif Islam itu, hampir dapat dipastikan akan sangat sulit untuk dapat memperoleh sebuah kata sepakat dari pemeluk agama yang berbeda. Contoh lain adalah konsep “tauhid” (ajaran tentang keesaan Tuhan) yang dalam Islam adalah ajaran fundamental. Agama-agama lain boleh jadi percaya dengan keesaan Tuhan, tapi konsep “tauhid” itu akan ditolak karena sekat ideologis, disamping tentu saja setiap agama mempunyai konsep keesaan tersendiri yang bersifat unik.

Sebab itulah, dalam proses interaksi dan komunikasi antar agama, agama-agama harus menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi obyektif sehingga dapat diterima semua pihak. “Tauhid” misalnya, dalam interaksi antar umat beragama perlu diterjemahkan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang semua agama dapat memahami dan menyetujuinya. Pancasila adalah sebuah pengalaman sejarah yang penting. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Mahaesa” jelas adalah obyektifikasi dari prinsip keesaan Tuhan yang diyakini oleh agama-agama dalam beragam konsepnya yang bersifat subyektif. Terminologi ini terbukti dapat meredakan ketegangan akibat pemakaian tujuh kata yang subyektif Islam dalam Piagam Jakarta.

Tentu saja usaha untuk menyuguhkan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif bukannya tanpa masalah karena bahasa sesungguhnya mencerminkan cara pandang. Karena itu perbedaan terminologi seringkali menunjukkan adanya perbedaan konsep atau cara pandang. Keesaan Tuhan misalnya, jelas berbeda antara Islam dan Kristen. Dalam menghadapi perbedaan semacam ini, para pemeluk agama dituntut untuk bisa legawa sebagai bagian dari demokrasi yang disamping mencari kesepakatan juga menghargai perbedaan. Karena itu perbedaan “tafsir” atas sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebenarnya tidak perlu menyebabkan munculnya klaim yang berlebihan tentang siapa yang paling berhak mengklaim diri sebagai wakil dari sila tersebut. Setiap agama boleh saja meyakini bahwa konsep keesaan Tuhan yang diyakininya adalah yang terbaik, tapi dalam konteks komunikasi antar pemeluk agama, klaim seperti ini tidaklah produktif.

Pentingnya penterjemahan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif pada hakekatnya adalah untuk mencapai kesalingpahaman dengan umat agama lain melalui komunikasi intersubyektif. Dalam Islam, terdapat ayat yang menggariskan urgensi dari komunikasi intersubyektif semacam ini: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”[13] Proses saling mengenal (ta’aruf) adalah sebuah proses intersubyektif untuk memperoleh pemahaman satu sama lain. Asumsi dasar dari ta’aruf adalah adanya perbedaan subyektifitas, entah itu bahasa, bangsa, suku, agama dan sebagainya.

Konsep ta’aruf itu aktif, tidak pasif. Ta’aruf tidak sekedar mengakui perbedaan tapi berusaha untuk saling memahami perbedaan. Ta’aruf tidak bermaksud melakukan singkretisasi karena bahkan Tuhan pun tidak berkehendak menyatukan seluruh umat manusia dalam satu agama. Ta’aruf dibutuhkan agar kita saling memahami. Obyektifikasi adalah upaya untuk menyuguhkan cita-cita masing-masing agama agar dapat dipahami oleh agama lain. Dalam konteks inilah, bahasa sebagai medianya, menempati kedudukan yang sangat penting. Dengan demikian, obyektifikasi terminologis dari cita-cita agama sebagai sebuah upaya aktif adalah bagian dari proses ta’aruf.

Melaui obyektifikasi terminologis inilah kita dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman yang sering kali menimbulkan ketegangan-ketegangan. Jika di masa Orde Baru, dengan konsep SARA–nya, masyarakat cenderung takut untuk saling menyapa perbedaan, karena memandangnya sebagai sebuah kelancangan, maka melalui obyektifikasi terminologis, perbedaan itu terjembatani dengan media bahasa. Interaksi antar umat beragama di masa Orde Baru cenderung “canggung” dan penuh prasangka. Prasangka-prasangka subyektif yang kemudian memunculkan stereotype jelas sangat menggaggu dan tidak sehat dalam sebuah komunikasi. Melalui obyektifikasi terminologis, hal ini dapat dihindari karena kita punya bahasa yang sama sebagai media untuk saling memahami. Proses komunikasi ini lama-kelamaan akan mendekatkan hubungan antar agama.

Kedua, hanya hal-hal yang obyektiflah yang dikemukakan kepada umum.[14]

Obyektifikasi, tidak dimaksudkan sebagai interaksi ke dalam, tapi keluar. Sedang ke dalam, cukup dengan eksternalisasi.[15] Eksternalisasi itu kongkretisasi keyakinan subyektif tetap dalam bentuknya yang subyektif, karena itu, eksternalisasi adalah untuk internal umat suatu agama sendiri. Sedang keluar, kita perlu obyektifikasi. Obyektifikasi mengemukakan hal-hal yang obyektif kepada umum seperti cita-cita keadilan sosial, demokrasi, supremasi hukum atau penyelenggaraan negara yang bersih. Sedang hal-hal yang subyektif seperti kebenaran agama masing-masing dapat dipakai untuk konsumsi ke dalam.

Keluar, kita tidak perlu berbicara tentang betapa tata cara penyembahan kita kepada Tuhan, serta keyakinan ketuhanan dan kenabian kita adalah benar adanya, sementara orang yang mengingkarinya berarti megingkari kebenaran. Pernyataan semacam ini tentu saja tidak berguna karena masing-masing agama punya keyakinan kebenarannya sendiri. Oleh karena itu, biarlah keyakinan subyektif kita itu untuk konsumsi ke dalam, sementara keluar, kita berbicara tentang hal-hal yang obyektif yang bisa dipahami semua orang.

Ajaran-ajaran agama sebenarnya memiliki dua sisi: sisi subyektif dan sisi obyektif. Sisi obyektif itu ada pada substansi universal dan tujuan kemanusiaannya, sementara sisi subyektif itu ada dalam bentuknya atau implementasinya dalam konteks internal relijius. Zakat misalnya, dalam konteks internal relijius (subyektif) bertujuan untuk membersihkan harta, akan tetapi sesungguhnya sisi obyektif zakat adalah kesejahteraan, pemerataan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Sisi obyektif seperti inilah yang perlu dikemukakan.

Ketiga, setiap agama harus mengakui secara penuh keberadaan segala sesuatu yang ada secara obyektif.[16]

Salah satu kelemahan mendasar sebagian umat beragama adalah kegagalan dalam membedakan antara realitas dan ajaran normatif. Kita terlalu banyak berkutat pada wacana-wacana normatif sehingga melupakan realitas. Hal ini erat kaitannya dengan proses sosialisasi agama dalam masyarakat yang melulu pada aspek normatif sementara dimensi empiris kurang atau bahkan tidak disentuh sama sekali.

Akibatnya, para pemeluk agama kemudian seringkali kebingungan atau tidak siap berhadapan dengan realitas. Norma jelas sesuatu yang penting untuk menilai realitas, tapi orientasi berlebihan terhadap norma, atau pada sebagian orang bahkan membabi buta, membuat kita tidak bisa berpikir arif ketika mendapati kenyataan yang tidak selalu sesuai dengan cita-cita normatif.

Pluralisme adalah sebagian dari realitas obyektif semacam ini. Bagi mereka yang terlalu berlebihan dalam orientasi normatif, bahkan cenderung absolutis, tentu tidak pernah terpikir untuk memberi tempat bagi klaim kebenaran lain. Sikap keras dan ekstrem terhadap agama lain (bahkan juga terhadap pemeluk agama yang sama yang memiliki perbedaan pandangan) menunjukkan dengan jelas ketidaksiapan mereka menghadapi kenyataan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Tuhan hanya punya satu kebenaran dan kebenaran itu ada pada mereka, habis tak terbagi.[17] Mereka tidak pernah belajar dari kenyataan bahwa dalam realitasnya, yang memiliki klaim kebenaran itu bukan hanya mereka tapi juga orang-orang lain yang berbeda agama. Bagi mereka, realitas dan keyakinan normatif adalah sama, oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah penolakan realitas karena tidak ada konformitas dengan norma. Sikap normatif mereka adalah sama dengan sikapnya menghadapi realitas.
Sikap seperti ini tentu saja dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan itu bisa saja tetap tersembunyi, tapi ketika terdapat faktor pemicu atau kepentingan politik tertentu, ketegangan itu akan segera meledak menjadi konflik yang sulit dikendalikan.

Dengan obyektifikasi kita dituntut untuk bisa bersikap arif terhadap realitas. Realitas adalah hal yang tidak bisa ditolak sebagai sebuah keberadaan alamiah. Memaksakan norma atas realitas adalah sebuah keputusasaan dan menandakan ketidakmampuan dalam mensikapinya secara arif. Ini tentu tidak berarti kira harus mengorbankan keyakinan normatif di hadapan kenyataan sosial. Memaksakan norma kebenaran kita pada masyarakat yang sangat plural jelas tidak rasional karena setiap orang punya klaim kebenaran sendiri. Dengan kata lain, egosentrisme harus ditanggalkan.

Keempat, tidak lagi berpikir kawan-lawan tapi perhatian ditujukan pada permasalahan bersama.[18]

Selama ini, banyak di antara kita yang terlalu sibuk berpikir dalam perspektif konflik antara “golongan kita” dan “golongan mereka”. Kita jarang mau belajar dari sejarah bahwa perspektif konflik seperti ini sering kali menimbulkan kekacauan sosial. Komunisme adalah salah satu contoh ideologi yang mengembangkan perspektif konflik. Akibatnya, di hampir semua Negara Komunis, para penganutnya selalu menggunakan cara-cara kekerasan untuk dapat merebut kekuasaan dari tangan penguasa sebelumnya. Di Indonesia sendiri, kita pernah mengalami sejarah traumatis konflik sosial yang berdarah-darah ketika PKI masih bercokol.

Cara berpikir seperti ini (“golongan kita” versus “golongan mereka”) hanya akan mengakibatkan berlanjutnya ketegangan-ketegangan sehingga masalah-masalah bersama bangsa yang lebih penting menjadi terlupakan. Kita seharusnya sadar bahwa penentang umat saat ini bukan lagi “mereka” tetapi realitas obyektif yang menjadi permasalahan bersama seperti kemiskinan, industrialisasi, ancaman disintegrasi, kerusuhan sosial, terorisme dan sebagainya. Karena itu, yang seharusnya kita kembangkan bukan perspektif konflik tapi kerjasama.

Menarik apa yang dikemukakan Siti Aisyah bahwa paradigma dialog agama yang selama ini berkembang cenderung manafikan elan transformatif dari agama. Dialog tidak mempertimbangkan agama sebagai agen transformer dalam masyarakat. Karena itu ia mengusulkan perlunya paradigma liberatif, paradigma dialog yang mempertimbangkan elan transformatif agama. Paradigma ini diusulkan karena dialog yang selama ini dilakukan tidak memasuki spektrum kepentingan kehidupan manusia secara luas, seolah menganggap bahwa agama adalah wilayah privat dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Konsekwensi lebih lanjut, dialog harus mencapai korporasi. Artinya, ada sebuah kerja sama yang real atau kongkret dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi [19]

Rasa-rasanya, kita memang sudah terlalu lelah dengan seabrek konflik antar agama yang terus saja terjadi sepanjang sejarah manusia, seakan-akan kita memang tidak pernah mau belajar dari sejarah yang telah mengatakan banyak hal pada kita. Sementara di sisi lain, masalah-masalah sosial kemanusiaan yang menghadang di depan mata terus saja bertambah dan bersifat lintas agama. Kemiskinan, perburuhan, pemerintahan yang bersih, pendidikan murah, kesenjangan ekonomi, terorisme, adalah masalah kemanusiaan yang tidak pandang bulu, tak peduli apapun agamanya.

Agama, sebagai bagian penting dari kehidupan sosial selayaknya memberikan perhatian yang serius pada masalah-masalah tersebut, sehingga interaksi antar umat beragama benar-benar memiliki kontribusi nyata bagi peningkatan harkat hidup manusia dan kemanusiaan. Jika agama-agama mampu bekerja sama dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keberpihakan pada rakyat kecil, memperjuangkan keadilan sosial, maka agama akan muncul sebagai kekuatan sosial yang tidak mudah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab.

Kita harus ingat bahwa masalah-masalah sosial adalah masalah yang bersifat lintas agama dan budaya, karena itu masing-masing agama tidak bisa berjuang sendiri-sendiri dalam proses transformasi sosial. Agama-agama harus bekerja sama. Perbedaan, kata Tuhan, bukan agar kita bertengkar tapi agar kita berlomba dan bekerja sama dalam proses transformasi sosial atau humanisasi (fastabiqul Khairat); “Sekiranya Allah menghendaki niscaya ia menyatukanmu dalam satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu atas karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.[20]

Setiap agama kiranya memiliki etos semacam itu. Dalam konteks Islam, Kuntowijoyo mengenalkan etika profetik sebagai bagian integral dari kesadaran Islam. Etika profetik itu disebutkan dalam surat Ali Imran (3): 110: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan beriman kepada Allah (iman billah)”. Ayat ini harus dipahami secara aktif, bukan pasif. Artinya, status umat terbaik itu bukanlah sesuatu yang given tapi harus diperjuangkan melalui aktifisme sejarah dengan semangat profetisme. Dalam ayat di atas, etika profetik itu ada tiga: humanisasi, liberasi dan transendensi, ketiganya adalah penterjemahan kreatif Kuntowijoyo dari amar makruf, nahi munkar dan iman billah[21].

Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.[22] Humanisasi sesuai dengan liberalism Barat, hanya saja dalam Islam, humanisasi itu berakar pada humanisme teosentris bukan humanisme antroposentris yang kemudian terbukti telah menyebabkan proses dehumanisasi dalam skala sedemikian total dan terbesar dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Untuk menyelamatkan umat manusia dari dehumanisasi, kata Tuhan, kita perlu iman dan amal saleh: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; Bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.[23] Jadi, humanisme teosentris itu iman dan amal saleh.[24] Artinya, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.[25] Liberasi artinya pembebasan, pembebasan dari belenggu kemiskinan, struktur yang menindas, juga pembebasan dari kebodohan. Sedang transendensi berarti menjadikan nilai-nilai transendental ketuhanan sebagai bagian penting dalam proses membangun peradaban.

Dengan etika profetik seperti inilah, agama-agama seharusnya mulai memikirkan persoalan-persoalan bersama yang dihadapi bangsa Indonesia. Di tengah krisis multidimensi, interaksi antar pemeluk agama dalam bentuk korporasi untuk mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan kehidupan rakyat, melakukan penyadaran politik, membela kaum tertindas kiranya sangat diperlukan agar tema hubungan agama tidak terus berkutat pada konflik tapi pada upaya untuk bersama-sama menjalankan tugas transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang egaliter, humanis dan transenden.

Demikianlah keempat agenda kultural obyektifikasi nilai-nilai agama dalam konteks interaksi antar umat beragama. Kiranya, usaha-usaha semacam ini memang bukan persoalan yang mudah. Di sana-sini kita temukan kendala, baik internal umat beragama sendiri maupun kendala-kendala eksternal. Akan tetapi sebagai sebuah ide yang konstruktif, obyektifikasi kiranya relevan untuk terus diperjuangkan dalam konteks komunikasi antar umat beragama agar sejarah agama tidak terus mengulang-ulang cerita lama kekerasan tapi menapak maju ke arah yang lebih manusiawi.

Penutup

Di tengah berbagai masalah yang muncul dalam sejarah panjang agama-agama di dunia, agama, disamping pernah dituduh sebagai biang kerok beberapa kejahatan kemanusiaan yang sangat mengerikan (peperangan), tampaknya masih dipercaya banyak orang dapat membawa secercah harapan bagi masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Harapan ini tentu saja sangat beralasan karena agama pada dasarnya tidak pernah mengajarkan kekerasan tapi cinta kasih dan kepedulian pada sesama. Kesempatan ini hendaklah digunakan oleh para pemeluk agama untuk membuktikan bahwa agama bukanlah sumber konflik tapi justru menawarkan makna bagi kemanusiaan yang telah semakin kehilangan maknanya di dunia modern. Agama adalah semesta makna transenden yang menawarkan agenda-agenda humanisasi, liberasi dan transendensi bagi seluruh umat manusia, tanpa pandang bulu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi Etika Kemanusiaan Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhri Paperback, 2001
Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan Teori (1 dan 2)”, Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
Kuntowijoyo, “Agenda Umat Islam” (I dan II), Republika, 15 dan 16 Mei 2000.
-------------, Identitas Politik Umat Islam, kata pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997
-------------, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 2001
-------------, “Objectifikasi”, Suara Muhammadiyah, Nomor 22 tahun ke-82 (1997)
-------------, “Obyektivikasi : Agenda Reformasi Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999
-------------, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Rodney Stark, One True God (One True God: Historical of Monotheism), alih bahasa M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press, 2003
Siti Aisyah, “Beyond Pluralism: Kritik Implementasi Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 30 Desember 2002.
“Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme”, wawancara dengan Franz Magnis Suseno dalam http://www.islamlib.com

FOOTNOTES
[1] Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhri Paperback, 2001, hlm. 5.
[2] Dalam sejarah Islam, khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib terbunuh di dalam masjid
[3] Rodney Stark, One True God (One True God: Historical of Monotheism), alih bahasa M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press, 2003, hlm. 169.
[4] QS. al-Maidah (5): 32
[5] Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan Teori (1 dan 2)”, Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 69. Baca juga wawancara dengan Franz Magnis Suseno, “Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme”, http://www.islamlib.com
[9] Kuntowijoyo, “Objectifikasi”, Suara Muhammadiyah, Nomor 22 tahun ke-82 (1997), hlm. 62.
[10] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, kata pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 66.
[11] Ibid., hlm. 66-67.
[12] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi : Agenda Reformasi Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999 dan “Agenda Umat Islam” (I dan II), Republika, 15 dan 16 Mei 2000.
[13] QS. al-Hujurat (49): 13.
[14] Kuntowijoyo, “Agenda.”
[15] Kuntowijoyo, Identitas., hlm. 68.
[16] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[17] Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi Etika Kemanusiaan Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
[18] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[19] Siti Aisyah, “Beyond Pluralism: Kritik Implementasi Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), tanggal 30 Desember 2002.
[20] QS. al-Maidah (5): 48.
[21] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 357-375
[22] Ibid., hlm. 364-365.
[23] QS. al-Tin (95): 4-6.
[24] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 369.
[25] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 229.