Kamis, Januari 17, 2008

Agenda Reformasi Kultural Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia


Oleh: Husnul Muttaqin
Dimuat dalam Jurnal Studi Agama Millah Vol. IV, No. 1, Agustus 2004 (Jurnal milik Magister Studi Islam UII)


Pengantar


Saat kita berbicara tentang agama, yang terlintas dalam benak kita adalah seperangkat nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan yang sedemikian indah, mempesona dan komprehensif. Bagaimana tidak luhur jika yang diajarkan oleh setiap agama adalah kebaikan dan menolak segala bentuk kejahatan. Bagaimana tidak humanis jika setiap agama bercita-cita untuk memanusiakan manusia, memberi makna pada kehidupannya, berbuat baik pada sesama, melarang tindakan yang membahayakan orang lain. Nilai-nilai inilah yang dalam sejarah kemanusiaan telah memoles wajah dunia menjadi lebih manusiawi.

Tapi bersamaan dengan itu, kita terpaksa harus menelan kekecewaan yang mendalam bahwa nilai-nilai luhur transendental itu tidak selamanya menjadi kenyataan kehidupan yang menyejarah. Sejarah agama justru sering kali diwarnai dengan nuansa dehumanis yang pekat, jauh dari nilai-nilai luhur yang diidealkan. Dalam dataran idealitas, kita dapat saja meyakini bulat-bulat bahwa agama kita benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tapi kita tidak dapat menutup mata dengan kenyataan bahwa salah satu sisi paling kelam dalam sejarah manusia adalah sejarah agama yang telah menimbulkan korban-korban kemanusiaan yang luar biasa massif. Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa melayang atas nama agama, dari yang masih berada dalam kandungan sampai kakek-kekek tua, entah bermakna atau sia-sia.

Di dalam setiap peradaban, termasuk peradaban agama, hampir selalu kita temukan sejarah yang dibangun di atas cucuran darah dan keringat manusia yang seharusnya menikmati hasil-hasil peradaban dalam kedamaian dan ketenangan. Ali Syari’ati melukiskannya dalam kalimat yang sangat ekspresif: “Lagi-lagi, atas dalih “perang suci”, kami dipaksa untuk bertempur. Kami harus korbankan anak-anak kami yang lugu hanya untuk kepentingan “tuhan”, kuil, dan berhala!”.[1] Ayat-ayat Tuhan diukir di atas pedang terhunus yang dengannya, kepala-kepala melayang seolah tak berharga. Tragisnya, pembunuhan ternyata tidak hanya terjadi di medan perang, di dalam tempat ibadah pun, terjadi pembunuhan.[2] Rumah Tuhan telah dikotori oleh darah. Rodney Stark mencatat, bahwa perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik antar golongan yang paling brutal dalam sejarah manusia.[3]

Kita tahu persis, tidak satupun agama di dunia ini yang bercita-cita membuat sebuah tragedi dalam sejarah kemanusiaan. Justru agama datang dengan janji keselamatan dan kedamaian. Agama pada dasarnya mengajarkan cinta bukan kebencian, kedamaian bukan peperangan. Islam menegaskan, menghilangkan nyawa seorang manusia sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia, dan menolong kehidupannya berarti menghidupkan seluruh umat manusia. Kata Tuhan: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[4] Sebuah ajaran yang sedemikian indah dan luhur. Karena itulah, jika kemudian dalam sejarahnya, banyak terjadi pertumpahan darah atas nama agama, itu adalah sebuah penghianatan atas agama itu sendiri.

Agama, dengan demikian, harus dikembalikan kepada fungsinya semula, sebagai penebar kedamaian di muka bumi. Hans Kung menegaskan dengan begitu persuasif: "there will be no peace for our world unless there is peace among the religion" ( tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama).

Indonesia: Sejarah Yang Tercabik

Kita pernah dikenal sebagai bangsa yang menjadi contoh dari kerukunan hidup antar umat beragama. Sebagai sebuah bangsa yang sangat plural, dengan beragam latar belakang agama, kultur, etnis, ideologi dan seabrek perbedaan lainnya, adalah prestasi yang membanggakan bahwa dalam sejarahnya, dunia pernah mencatat nama bangsa kita sebagai sebuah bangsa yang mampu hidup secara damai dan berdampingan di dalam perbedaan.

Amat disayangkan, jika di kemudian hari, kita sendirilah yang telah mencabik-cabik sejarah bangsa ini dengan catatan kelam kekerasan yang bernuansa agama. Konflik Poso, Ambon adalah sebagian dari contohnya yang membuat malu bangsa kita. Belum lagi serangkaian tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Bali adalah kasus mutakhir yang seluruh dunia mengecamnya sebagai tindakan biadab yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita.

Lantas, kenapa agama yang cita-cita terluhurnya adalah keselamatan bagi seluruh umat manusia tiba-tiba menampakkan wajah yang demikian berbeda?.

Banyak cara untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam kasus Indonesia, apa yang selama ini kita sebut sebagai kerukunan umat beragama itu, dalam kenyataan sejarahnya ternyata menyimpan masalah. Kerukunan itu bukanlah hasil dari sebuah proses kultural yang berlangsung secara natural dan berkesadaran, tapi kerukunan yang dipaksakan oleh kekuatan politik otoriter Orde Baru. Sehingga selama ini kita sesungguhnya hanya “pura-pura” rukun. Kerukunan itu tidak muncul dari arus kesadaran kultural yang berproses dalam kehidupan masyarakat sendiri, sehingga tidak benar-benar mengakar.

Orde Baru, dengan pembangunan ekonomi sebagai panglimanya, sadar benar dengan pentingnya stabilitas. Karena itu, dengan segala cara, diciptakanlah segala perangkat untuk mewujudkannya. Dengan cara pandang seperti ini, penguasa Orde Baru melihat bahwa pluralitas agama adalah sebuah potensi konflik yang dapat membahayakan stabilitas. Maka diciptakanlah konsep SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan).

Teori SARA pernah begitu mengemuka di masa Orde Baru yang pengaruhnya hingga kini masih juga kita rasakan. Dalam teori ini, Suku, Agama, Ras dan Antargolongan dianggap amat peka, rentan, eksplosif, penuh resiko dan karena itu berbahaya. Ignas Kleden membuktikan bahwa secara praksis, teori ini justru merugikan, dan secara teoritis, kebenarannya amat sulit dibuktikan, sedang kekeliruannya dapat ditunjuk dengan mudah.[5]

Secara praktis, kalau benar bahwa hubungan antar agama itu penuh dengan kemungkinan konflik dan kalau benar bahwa konflik itu dengan mudah menyulut penggunaan kekerasan, maka tiap kelompok agama akan memilih untuk lebih baik berada dalam kelompoknya sendiri, mengurangi kontak dan komunikasi dengan kelompok lainnya dan kalau perlu tidak usah berhubungan sama sekali.[6]

Inilah keyakinan yang hendak ditanamkan dengan teori SARA. Dan celakanya, keyakinan ini kemudian dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hubungan antar agama dipercaya penuh dengan potensi konflik, sehingga masing-masing penganut agama cenderung bersikap eksklusif. Dampak lanjutannya adalah tidak adanya saling pengertian antara pemeluk agama yang berbeda karena tidak adanya proses dialog konstruktif akibat eksklusifitas ini. Dengan cara ini, potensi konflik justru kemudian menjadi rawan. Karena itu, secara praksis, teori SARA justru berbahaya.

Secara teoritis, SARA didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan selalu mengandung konflik dalam dirinya. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Orang dapat saja hidup dalam perbedaan tanpa adanya konflik yang menyertai.[7] Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologi, ekonomi, politik, umat manusia menjalin kehidupan bersama yang bersifat pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja.[8]

Dalam lapangan kepentingan ideologi, ekonomi, dan politiklah, perbedaan agama menjadi berwajah konflik. Kenyataan sejarah membuktikan, konflik agama tidak pernah berdiri sendiri sebagai murni persoalan pertentangan teologis tapi konflik agama selalu berkelindan dengan kepentingan kekuasaan. Proses sejarah ini menyebabkan pemahaman dan penghayatan keagamaan bangsa kita cenderung bersifat ideologis tertutup.

Dengan melihat latar belakang sosio-historis semacam ini, salah satu yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan kenyataan akan pluralitas agama dalam kondisinya yang wajar dan alami sebelum dicampuri oleh kepentingan kekuasaan. Untuk itu, diperlukan reformasi kultural dalam relasi antar umat beragama. Kita perlu membuka jalan agar interaksi antar umat beragama mampu menjadi media komunikasi yang efektif untuk terciptanya perdamaian. Kebekuan dan eksklusifitas harus dicairkan. Agama seharusnya menjadi jembatan untuk saling memahami, bukannya saling mencurigai, saling menghargai, bukan saling membenci. Dalam konteks ini menarik untuk mendiskusikan gagasan Kuntowijoyo tentang obyektifikasi Islam.

Obyektifikasi: Agenda Kultural Hubungan Antar Agama

Bagi Kuntowijoyo, obyektifikasi adalah jalan tengah bagi konflik ideologis yang sering kali menyeruak ke permukaan. Obyektifikasi merupakan suatu prilaku atau proses untuk mengobyektifkan suatu gagasan abstrak sehingga menjadi bersifat eksternal dari pikiran subyek. Dengan demikian gagasan tersebut memperoleh status obyektif sebagai eksistensi yang berdiri sendiri.[9]

Kuntowijoyo membedakan prilaku obyektif menjadi dua, prilaku obyektif aktif dan pasif. Pasif dalam arti menerima kenyataan obyektif yang disodorkan atau yang telah ada dalam realitas kehidupan. Ketika kita membeli produk elektronik misalnya, yang menjadi pertimbangan adalah kualitas dan harga barang tersebut. Jika seorang sopir bus bekerja, ia tak akan menanyakan agama para penumpangnya. Yang kedua adalah prilaku obyektif aktif yang tak lain adalah obyektifikasi itu sendiri.[10] Jadi, obyektifikasi merupakan prilaku aktif untuk mengobyektifkan gagasan-gagasan.

Obyektifikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori obyektif.[11] Obyektifikasi Islam artinya penterjemahan nilai-nilai Islam yang telah diserap ke dalam struktur kesadaran internal menjadi bentuk-bentuk yang obyektif. Islam yang semula adalah nilai-nilai yang bersifat subyektif, dengan obyektifikasi ditransformasikan menjadi nilai-nilai obyektif, lepas dari sifat subyektifnya. Hal ini membedakannya dari eksternalisasi yang dipakai untuk menunjuk pada proses kongkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal dalam bentuk-bentuk yang khas keagamaan. Obyektifikasi juga merupakan kongkretisasi dari keyakinan internal tapi harus diwujudkan dalam kategori-kategori obyektif yang semua agama dapat memahaminya tanpa harus mengerti nilai-nilai asal. Kita dapat menyebut sebuah contoh. Dalam Islam, ada ajaran tentang zakat. Melalui obyektifikasi, zakat akan diwujudkan dalam cita-cita kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Berangkat dari konsep obyektifikasi, Agama-agama akan menggarap beberapa agenda kultural penting:

Pertama, masing-masing agama harus menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi obyektif sehingga dapat diterima semua pihak.[12]

Salah satu kendala yang sering menjadi penghambat bagi sebuah jalinan interaksi dan komunikasi yang intens, aktif, dan progresif adalah tidak adanya upaya saling memahami antar pemeluk agama. Masing-masing agama mempunyai kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki oleh lainnya.
Interaksi dan komunikasi dimungkinkan untuk dapat terjalin dengan baik tatkala terdapat satu pemahaman yang sebisa mungkin utuh antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini. Dalam sebuah proses komunikasi, bahasa menempati kedudukan yang sangat sentral. Melalui bahasa, makna-makna disampaikan sehingga terjalin interaksi intersubyektif untuk mencari kesepakatan bersama atau setidaknya sebuah kesepahaman.

Di sinilah letak permasalahannya, masing-masing agama memiliki ungkapan-ungkapan yang secara nyata berbeda satu sama lain. Dalam situasi percakapan atau komunikasi yang melibatkan variasi terminologis, proses pencapaian intersubyektifitas akan terganggu. Kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses ini. Terminologi-terminologi yang sifatnya sangat subyektif tidak dapat dipahami oleh para penganut agama lain. Memang bisa jadi, ada diantaranya yang mampu memahaminya, terutama yang sudah terbiasa terlibat dalam proses dialog antar agama, tapi jumlahnya sangat terbatas, karena itu tidak akan signifikan untuk dapat memunculkan kesadaran intersubyektif diantara para pemeluk agama yang berbeda secara luas. Disamping itu, sifat terminologi agama yang sangat subyektif meniscayakan adanya sekat-sekat ideologis dan psikologis sehingga proses untuk saling memahami menjadi terganggu.

Kita bisa jadi sepakat dalam maknanya yang substansial dan transenden (melampaui dimensi literal-terminologis), tapi sekat-sekat ideologis dan psikologis akibat penggunaan terminologi yang bersifat subyektif seringkali menyebabkan munculnya sikap egosentris yang menghalangi peleburan kesadaran menuju cita-cita bersama. Kita dapat mengambil contoh. “Zakat” adalah sebuah terminologi yang khas Islam. Saya yakin, tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki kepedulian terhadap nasib kaum papa. Tapi ketika konsep “zakat” ditawarkan pada publik dalam bajunya yang subyektif Islam itu, hampir dapat dipastikan akan sangat sulit untuk dapat memperoleh sebuah kata sepakat dari pemeluk agama yang berbeda. Contoh lain adalah konsep “tauhid” (ajaran tentang keesaan Tuhan) yang dalam Islam adalah ajaran fundamental. Agama-agama lain boleh jadi percaya dengan keesaan Tuhan, tapi konsep “tauhid” itu akan ditolak karena sekat ideologis, disamping tentu saja setiap agama mempunyai konsep keesaan tersendiri yang bersifat unik.

Sebab itulah, dalam proses interaksi dan komunikasi antar agama, agama-agama harus menterjemahkan cita-citanya dalam terminologi obyektif sehingga dapat diterima semua pihak. “Tauhid” misalnya, dalam interaksi antar umat beragama perlu diterjemahkan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang semua agama dapat memahami dan menyetujuinya. Pancasila adalah sebuah pengalaman sejarah yang penting. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Mahaesa” jelas adalah obyektifikasi dari prinsip keesaan Tuhan yang diyakini oleh agama-agama dalam beragam konsepnya yang bersifat subyektif. Terminologi ini terbukti dapat meredakan ketegangan akibat pemakaian tujuh kata yang subyektif Islam dalam Piagam Jakarta.

Tentu saja usaha untuk menyuguhkan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif bukannya tanpa masalah karena bahasa sesungguhnya mencerminkan cara pandang. Karena itu perbedaan terminologi seringkali menunjukkan adanya perbedaan konsep atau cara pandang. Keesaan Tuhan misalnya, jelas berbeda antara Islam dan Kristen. Dalam menghadapi perbedaan semacam ini, para pemeluk agama dituntut untuk bisa legawa sebagai bagian dari demokrasi yang disamping mencari kesepakatan juga menghargai perbedaan. Karena itu perbedaan “tafsir” atas sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebenarnya tidak perlu menyebabkan munculnya klaim yang berlebihan tentang siapa yang paling berhak mengklaim diri sebagai wakil dari sila tersebut. Setiap agama boleh saja meyakini bahwa konsep keesaan Tuhan yang diyakininya adalah yang terbaik, tapi dalam konteks komunikasi antar pemeluk agama, klaim seperti ini tidaklah produktif.

Pentingnya penterjemahan cita-cita agama dalam terminologi yang obyektif pada hakekatnya adalah untuk mencapai kesalingpahaman dengan umat agama lain melalui komunikasi intersubyektif. Dalam Islam, terdapat ayat yang menggariskan urgensi dari komunikasi intersubyektif semacam ini: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”[13] Proses saling mengenal (ta’aruf) adalah sebuah proses intersubyektif untuk memperoleh pemahaman satu sama lain. Asumsi dasar dari ta’aruf adalah adanya perbedaan subyektifitas, entah itu bahasa, bangsa, suku, agama dan sebagainya.

Konsep ta’aruf itu aktif, tidak pasif. Ta’aruf tidak sekedar mengakui perbedaan tapi berusaha untuk saling memahami perbedaan. Ta’aruf tidak bermaksud melakukan singkretisasi karena bahkan Tuhan pun tidak berkehendak menyatukan seluruh umat manusia dalam satu agama. Ta’aruf dibutuhkan agar kita saling memahami. Obyektifikasi adalah upaya untuk menyuguhkan cita-cita masing-masing agama agar dapat dipahami oleh agama lain. Dalam konteks inilah, bahasa sebagai medianya, menempati kedudukan yang sangat penting. Dengan demikian, obyektifikasi terminologis dari cita-cita agama sebagai sebuah upaya aktif adalah bagian dari proses ta’aruf.

Melaui obyektifikasi terminologis inilah kita dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman yang sering kali menimbulkan ketegangan-ketegangan. Jika di masa Orde Baru, dengan konsep SARA–nya, masyarakat cenderung takut untuk saling menyapa perbedaan, karena memandangnya sebagai sebuah kelancangan, maka melalui obyektifikasi terminologis, perbedaan itu terjembatani dengan media bahasa. Interaksi antar umat beragama di masa Orde Baru cenderung “canggung” dan penuh prasangka. Prasangka-prasangka subyektif yang kemudian memunculkan stereotype jelas sangat menggaggu dan tidak sehat dalam sebuah komunikasi. Melalui obyektifikasi terminologis, hal ini dapat dihindari karena kita punya bahasa yang sama sebagai media untuk saling memahami. Proses komunikasi ini lama-kelamaan akan mendekatkan hubungan antar agama.

Kedua, hanya hal-hal yang obyektiflah yang dikemukakan kepada umum.[14]

Obyektifikasi, tidak dimaksudkan sebagai interaksi ke dalam, tapi keluar. Sedang ke dalam, cukup dengan eksternalisasi.[15] Eksternalisasi itu kongkretisasi keyakinan subyektif tetap dalam bentuknya yang subyektif, karena itu, eksternalisasi adalah untuk internal umat suatu agama sendiri. Sedang keluar, kita perlu obyektifikasi. Obyektifikasi mengemukakan hal-hal yang obyektif kepada umum seperti cita-cita keadilan sosial, demokrasi, supremasi hukum atau penyelenggaraan negara yang bersih. Sedang hal-hal yang subyektif seperti kebenaran agama masing-masing dapat dipakai untuk konsumsi ke dalam.

Keluar, kita tidak perlu berbicara tentang betapa tata cara penyembahan kita kepada Tuhan, serta keyakinan ketuhanan dan kenabian kita adalah benar adanya, sementara orang yang mengingkarinya berarti megingkari kebenaran. Pernyataan semacam ini tentu saja tidak berguna karena masing-masing agama punya keyakinan kebenarannya sendiri. Oleh karena itu, biarlah keyakinan subyektif kita itu untuk konsumsi ke dalam, sementara keluar, kita berbicara tentang hal-hal yang obyektif yang bisa dipahami semua orang.

Ajaran-ajaran agama sebenarnya memiliki dua sisi: sisi subyektif dan sisi obyektif. Sisi obyektif itu ada pada substansi universal dan tujuan kemanusiaannya, sementara sisi subyektif itu ada dalam bentuknya atau implementasinya dalam konteks internal relijius. Zakat misalnya, dalam konteks internal relijius (subyektif) bertujuan untuk membersihkan harta, akan tetapi sesungguhnya sisi obyektif zakat adalah kesejahteraan, pemerataan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Sisi obyektif seperti inilah yang perlu dikemukakan.

Ketiga, setiap agama harus mengakui secara penuh keberadaan segala sesuatu yang ada secara obyektif.[16]

Salah satu kelemahan mendasar sebagian umat beragama adalah kegagalan dalam membedakan antara realitas dan ajaran normatif. Kita terlalu banyak berkutat pada wacana-wacana normatif sehingga melupakan realitas. Hal ini erat kaitannya dengan proses sosialisasi agama dalam masyarakat yang melulu pada aspek normatif sementara dimensi empiris kurang atau bahkan tidak disentuh sama sekali.

Akibatnya, para pemeluk agama kemudian seringkali kebingungan atau tidak siap berhadapan dengan realitas. Norma jelas sesuatu yang penting untuk menilai realitas, tapi orientasi berlebihan terhadap norma, atau pada sebagian orang bahkan membabi buta, membuat kita tidak bisa berpikir arif ketika mendapati kenyataan yang tidak selalu sesuai dengan cita-cita normatif.

Pluralisme adalah sebagian dari realitas obyektif semacam ini. Bagi mereka yang terlalu berlebihan dalam orientasi normatif, bahkan cenderung absolutis, tentu tidak pernah terpikir untuk memberi tempat bagi klaim kebenaran lain. Sikap keras dan ekstrem terhadap agama lain (bahkan juga terhadap pemeluk agama yang sama yang memiliki perbedaan pandangan) menunjukkan dengan jelas ketidaksiapan mereka menghadapi kenyataan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Tuhan hanya punya satu kebenaran dan kebenaran itu ada pada mereka, habis tak terbagi.[17] Mereka tidak pernah belajar dari kenyataan bahwa dalam realitasnya, yang memiliki klaim kebenaran itu bukan hanya mereka tapi juga orang-orang lain yang berbeda agama. Bagi mereka, realitas dan keyakinan normatif adalah sama, oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah penolakan realitas karena tidak ada konformitas dengan norma. Sikap normatif mereka adalah sama dengan sikapnya menghadapi realitas.
Sikap seperti ini tentu saja dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan itu bisa saja tetap tersembunyi, tapi ketika terdapat faktor pemicu atau kepentingan politik tertentu, ketegangan itu akan segera meledak menjadi konflik yang sulit dikendalikan.

Dengan obyektifikasi kita dituntut untuk bisa bersikap arif terhadap realitas. Realitas adalah hal yang tidak bisa ditolak sebagai sebuah keberadaan alamiah. Memaksakan norma atas realitas adalah sebuah keputusasaan dan menandakan ketidakmampuan dalam mensikapinya secara arif. Ini tentu tidak berarti kira harus mengorbankan keyakinan normatif di hadapan kenyataan sosial. Memaksakan norma kebenaran kita pada masyarakat yang sangat plural jelas tidak rasional karena setiap orang punya klaim kebenaran sendiri. Dengan kata lain, egosentrisme harus ditanggalkan.

Keempat, tidak lagi berpikir kawan-lawan tapi perhatian ditujukan pada permasalahan bersama.[18]

Selama ini, banyak di antara kita yang terlalu sibuk berpikir dalam perspektif konflik antara “golongan kita” dan “golongan mereka”. Kita jarang mau belajar dari sejarah bahwa perspektif konflik seperti ini sering kali menimbulkan kekacauan sosial. Komunisme adalah salah satu contoh ideologi yang mengembangkan perspektif konflik. Akibatnya, di hampir semua Negara Komunis, para penganutnya selalu menggunakan cara-cara kekerasan untuk dapat merebut kekuasaan dari tangan penguasa sebelumnya. Di Indonesia sendiri, kita pernah mengalami sejarah traumatis konflik sosial yang berdarah-darah ketika PKI masih bercokol.

Cara berpikir seperti ini (“golongan kita” versus “golongan mereka”) hanya akan mengakibatkan berlanjutnya ketegangan-ketegangan sehingga masalah-masalah bersama bangsa yang lebih penting menjadi terlupakan. Kita seharusnya sadar bahwa penentang umat saat ini bukan lagi “mereka” tetapi realitas obyektif yang menjadi permasalahan bersama seperti kemiskinan, industrialisasi, ancaman disintegrasi, kerusuhan sosial, terorisme dan sebagainya. Karena itu, yang seharusnya kita kembangkan bukan perspektif konflik tapi kerjasama.

Menarik apa yang dikemukakan Siti Aisyah bahwa paradigma dialog agama yang selama ini berkembang cenderung manafikan elan transformatif dari agama. Dialog tidak mempertimbangkan agama sebagai agen transformer dalam masyarakat. Karena itu ia mengusulkan perlunya paradigma liberatif, paradigma dialog yang mempertimbangkan elan transformatif agama. Paradigma ini diusulkan karena dialog yang selama ini dilakukan tidak memasuki spektrum kepentingan kehidupan manusia secara luas, seolah menganggap bahwa agama adalah wilayah privat dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Konsekwensi lebih lanjut, dialog harus mencapai korporasi. Artinya, ada sebuah kerja sama yang real atau kongkret dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi [19]

Rasa-rasanya, kita memang sudah terlalu lelah dengan seabrek konflik antar agama yang terus saja terjadi sepanjang sejarah manusia, seakan-akan kita memang tidak pernah mau belajar dari sejarah yang telah mengatakan banyak hal pada kita. Sementara di sisi lain, masalah-masalah sosial kemanusiaan yang menghadang di depan mata terus saja bertambah dan bersifat lintas agama. Kemiskinan, perburuhan, pemerintahan yang bersih, pendidikan murah, kesenjangan ekonomi, terorisme, adalah masalah kemanusiaan yang tidak pandang bulu, tak peduli apapun agamanya.

Agama, sebagai bagian penting dari kehidupan sosial selayaknya memberikan perhatian yang serius pada masalah-masalah tersebut, sehingga interaksi antar umat beragama benar-benar memiliki kontribusi nyata bagi peningkatan harkat hidup manusia dan kemanusiaan. Jika agama-agama mampu bekerja sama dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keberpihakan pada rakyat kecil, memperjuangkan keadilan sosial, maka agama akan muncul sebagai kekuatan sosial yang tidak mudah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab.

Kita harus ingat bahwa masalah-masalah sosial adalah masalah yang bersifat lintas agama dan budaya, karena itu masing-masing agama tidak bisa berjuang sendiri-sendiri dalam proses transformasi sosial. Agama-agama harus bekerja sama. Perbedaan, kata Tuhan, bukan agar kita bertengkar tapi agar kita berlomba dan bekerja sama dalam proses transformasi sosial atau humanisasi (fastabiqul Khairat); “Sekiranya Allah menghendaki niscaya ia menyatukanmu dalam satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu atas karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.[20]

Setiap agama kiranya memiliki etos semacam itu. Dalam konteks Islam, Kuntowijoyo mengenalkan etika profetik sebagai bagian integral dari kesadaran Islam. Etika profetik itu disebutkan dalam surat Ali Imran (3): 110: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan beriman kepada Allah (iman billah)”. Ayat ini harus dipahami secara aktif, bukan pasif. Artinya, status umat terbaik itu bukanlah sesuatu yang given tapi harus diperjuangkan melalui aktifisme sejarah dengan semangat profetisme. Dalam ayat di atas, etika profetik itu ada tiga: humanisasi, liberasi dan transendensi, ketiganya adalah penterjemahan kreatif Kuntowijoyo dari amar makruf, nahi munkar dan iman billah[21].

Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.[22] Humanisasi sesuai dengan liberalism Barat, hanya saja dalam Islam, humanisasi itu berakar pada humanisme teosentris bukan humanisme antroposentris yang kemudian terbukti telah menyebabkan proses dehumanisasi dalam skala sedemikian total dan terbesar dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Untuk menyelamatkan umat manusia dari dehumanisasi, kata Tuhan, kita perlu iman dan amal saleh: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; Bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.[23] Jadi, humanisme teosentris itu iman dan amal saleh.[24] Artinya, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.[25] Liberasi artinya pembebasan, pembebasan dari belenggu kemiskinan, struktur yang menindas, juga pembebasan dari kebodohan. Sedang transendensi berarti menjadikan nilai-nilai transendental ketuhanan sebagai bagian penting dalam proses membangun peradaban.

Dengan etika profetik seperti inilah, agama-agama seharusnya mulai memikirkan persoalan-persoalan bersama yang dihadapi bangsa Indonesia. Di tengah krisis multidimensi, interaksi antar pemeluk agama dalam bentuk korporasi untuk mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan kehidupan rakyat, melakukan penyadaran politik, membela kaum tertindas kiranya sangat diperlukan agar tema hubungan agama tidak terus berkutat pada konflik tapi pada upaya untuk bersama-sama menjalankan tugas transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang egaliter, humanis dan transenden.

Demikianlah keempat agenda kultural obyektifikasi nilai-nilai agama dalam konteks interaksi antar umat beragama. Kiranya, usaha-usaha semacam ini memang bukan persoalan yang mudah. Di sana-sini kita temukan kendala, baik internal umat beragama sendiri maupun kendala-kendala eksternal. Akan tetapi sebagai sebuah ide yang konstruktif, obyektifikasi kiranya relevan untuk terus diperjuangkan dalam konteks komunikasi antar umat beragama agar sejarah agama tidak terus mengulang-ulang cerita lama kekerasan tapi menapak maju ke arah yang lebih manusiawi.

Penutup

Di tengah berbagai masalah yang muncul dalam sejarah panjang agama-agama di dunia, agama, disamping pernah dituduh sebagai biang kerok beberapa kejahatan kemanusiaan yang sangat mengerikan (peperangan), tampaknya masih dipercaya banyak orang dapat membawa secercah harapan bagi masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Harapan ini tentu saja sangat beralasan karena agama pada dasarnya tidak pernah mengajarkan kekerasan tapi cinta kasih dan kepedulian pada sesama. Kesempatan ini hendaklah digunakan oleh para pemeluk agama untuk membuktikan bahwa agama bukanlah sumber konflik tapi justru menawarkan makna bagi kemanusiaan yang telah semakin kehilangan maknanya di dunia modern. Agama adalah semesta makna transenden yang menawarkan agenda-agenda humanisasi, liberasi dan transendensi bagi seluruh umat manusia, tanpa pandang bulu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi Etika Kemanusiaan Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhri Paperback, 2001
Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan Teori (1 dan 2)”, Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
Kuntowijoyo, “Agenda Umat Islam” (I dan II), Republika, 15 dan 16 Mei 2000.
-------------, Identitas Politik Umat Islam, kata pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997
-------------, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 2001
-------------, “Objectifikasi”, Suara Muhammadiyah, Nomor 22 tahun ke-82 (1997)
-------------, “Obyektivikasi : Agenda Reformasi Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999
-------------, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Rodney Stark, One True God (One True God: Historical of Monotheism), alih bahasa M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press, 2003
Siti Aisyah, “Beyond Pluralism: Kritik Implementasi Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 30 Desember 2002.
“Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme”, wawancara dengan Franz Magnis Suseno dalam http://www.islamlib.com

FOOTNOTES
[1] Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhri Paperback, 2001, hlm. 5.
[2] Dalam sejarah Islam, khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib terbunuh di dalam masjid
[3] Rodney Stark, One True God (One True God: Historical of Monotheism), alih bahasa M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press, 2003, hlm. 169.
[4] QS. al-Maidah (5): 32
[5] Ignas Kleden, “SARA: Praktek dan Teori (1 dan 2)”, Kompas, 11 dan 12 Desember 1998.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 69. Baca juga wawancara dengan Franz Magnis Suseno, “Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme”, http://www.islamlib.com
[9] Kuntowijoyo, “Objectifikasi”, Suara Muhammadiyah, Nomor 22 tahun ke-82 (1997), hlm. 62.
[10] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, kata pengantar M. Syafi’i Anwar, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 66.
[11] Ibid., hlm. 66-67.
[12] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi : Agenda Reformasi Ideologi”, Kompas, 13 Juli 1999 dan “Agenda Umat Islam” (I dan II), Republika, 15 dan 16 Mei 2000.
[13] QS. al-Hujurat (49): 13.
[14] Kuntowijoyo, “Agenda.”
[15] Kuntowijoyo, Identitas., hlm. 68.
[16] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[17] Abdul Munir Mulkhan, “Sinkretisasi Etika Kemanusiaan Agama-agama, Mencari Solusi Konflik”, Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), 14 Desember 2001.
[18] Kuntowijoyo, “Obyektivikasi.”
[19] Siti Aisyah, “Beyond Pluralism: Kritik Implementasi Dialog Agama”, dalam Kompas Cyber Media (http://www.kompas.com), tanggal 30 Desember 2002.
[20] QS. al-Maidah (5): 48.
[21] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 357-375
[22] Ibid., hlm. 364-365.
[23] QS. al-Tin (95): 4-6.
[24] Kuntowijoyo, Muslim., hlm. 369.
[25] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 229.

Tidak ada komentar: